Monday, June 11, 2012


 Spektrofotometri (UV-Vis)
1.  prinsip
Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknis analisis spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer. Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan dengan analisis kualitatif ( Mulja, 1995).
Spektrofotometri UV-Vis mengukur antaraksi yang terjadi antara radiasi elektromagnetik dengan molekul atau atom suatu senyawa. Pada umumnya serapan radiasi UV-Vis dihasilkan oleh eksitasi elektron ikatan, sehingga panjang gelombang serapan maksimum suatu senyawa itu dapat digunakan untuk penentuan kuantitatif senyawa yang mengandung gugus fungsi penyerap radiasi (Clarke’s,1986; DEPKES RI,1991;Mulja,1995; Skoog,1998; Rohman, 2007 ).

Bouger, Lambert, dan Beer membuat formula secara matematika hubungan antara transmitan dan absorban terhadap intensitas radiasi atau konsentrasi zat yang dianalisa dan tebal yang mengabsorpsi sebagai berikut (Mulja, 1995; Fessenden & Fessenden, 1999):
                                                T = I­t / I0-εcb
                                                A = log 1/T = ε. c. b

Keterangan:
          T = persen transmitan
          b = panjang lintasan
          I0 =  intensitas radiasi yang datang
          It = intensitas radiasi yang diteruskan
          ε = absorbansi molar (Lr.mol-1.cm-1)
          c = konsentrasi (mol.Lt-1)

Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan. Dalam hukum Lambert-Beer ada beberapa pembatasan (Rohman, 2007):
1.   Sinar yang digunakan dianggap monokromatis
2.   Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang luas yang sama
3.   Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan tersebut
4.   Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan.

     Penyerapan sinar UV-Vis dalam suatu molekul yang umumnya senyawa organik memiliki gugusan atom yang dapat mengabsorpsi radiasi elektromagnetik yang disebut sebagai kromofor, seperti asam organik (RCOOH), aldehid (RCOH), keton (RCOR). Pada senyawa organik dikenal pula gugus auksokrom, yaitu gugus fungsionil yang mempunyai elektron bebas seperti: -OH; -O; -NH2; dan –OCH3. Terikatnya gugus auksokrom dengan gugus kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita absorpsi menuju ke panjang gelombang yang lebih besar (pergeseran merah = batokromik) disertai peningkatan intensitas (efek hiperkromik). Suatu molekul yang sederhana apabila dikenakan radiasi elektromagnetik akan mengabsopsi radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai (Silverstein, 1986; Mulja, 1995; Rohman, 2007).       
Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri UV-Vis yaitu panjang gelombang maksimum yang dapat dipengaruhi oleh pelarut dan struktur kimia yang mengandung kromofor. Lebih lanjut, pita-pita serapan maksimum biasanya juga lebar karena ada efek vibrasional. Dengan demikian, penentuan panjang gelombang maksimum yang tepat merupakan suatu hal yang sulit (Rohman, 2007).  
Serapan molekul di dalam daerah sinar UV dan terlihat dari spektrum bergantung pada struktur elektronik dari molekul. Penyerapan sejumlah energi, menghasilkan percepatan dari elektron dalam orbital tingkat dasar ke orbital yang berenergi lebih tinggi di dalam keadaan tereksitasi. Suatu keuntungan dari serapan UV adalah selektifitasnya, gugus yang khas dapat dikenal di dalam molekul dengan kerumitan yang bervariasi luas (Silverstein, 1986; Underwood, 2002). 
Hubungan antara energi yang diserap dalam transisi elektronik dan kecepatan (v), panjang gelombang (λ), dan bilangan gelombang (υ) pancaran yang menghasilkan transisi
                                                DE = hv = h c / λ
Dimana:
h   = tetapan Planck
v   = frekuensi
c   = kecepatan cahaya
λ   = panjang gelombang
 DE adalah energi yang diserap di dalam suatu transisi elektronik di dalam satu molekul dari suatu tingkat energi rendah (tingkat dasar) ke tingkat energi tinggi (tingkat tereksitasi). Energi yang diserap bergantung atas perbedaan energi antara tingkat dasar dan tingkat tereksitasi; semakin kecil perbedaan di dalam energi, semakin besar panjang gelombang dari serapan. Kelebihan energi dalam tingkat tereksitasi dapat dihasilkan dalam disosiasi atau ionisasi dari molekul, atau mungkin dipancarkan sebagai panas atau cahaya. Energi yang dipancarkan sebagai cahaya terlihat dalam fluoresensi atau fosforisensi (Silverstein, 1986).

2.  Instrumen Spektrofotometer UV-Vis
    Spektrofotometer merupakan suatu instrumen yang digunakan unuk mengukur transmitans atau absorbansi suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang, pengukuran terhadap sederetan sampel pada suatu panjang gelombang tunggal. Pengukuran dengan menggunakan instrumen ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu single-beam (berkas-tunggal) dan double-beam (berkas-rangkap). Namun dalam aplikasinya instrumen yang lebih banyak digunakan adalah double-beam karena pada umumnya mencirikan perekaman automatik terhadap spektra absorpsi (Underwood, 2002).
Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat untuk mengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan, atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Khopkar, 2003).
Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum UV-Vis terdiri atas suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang. Sinar UV mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, sementara Vis mempunyai panjang gelombang 400-750 (Rohman, 2007).

Komponen dari suatu spektrofotometer, secara skema ditunjukkan dalam gambar sebagai berikut (Pecsok, 1968;Underwood, 2002):



a.       Sumber cahaya
Sumber energi cahaya yang digunakan pada daerah ultra lembayung-sinar tampak adalah sebuah lampu pijar dan kawat yang terbuat dari wolfram. Sumber lain yang biasa digunakan adalah lampu tabung hidrogen atau deuterium yang dapat digunakan pada panjang gelombang 175-400 nm. Dalam beberapa spektrofotometer dimungkinkan untuk saling menukar sumber wolfram dan lampu deuterium agar daerah UV-Vis dapat dijangkau sepanjang instrumen bekerja (Underwood, 2002).
b.      Monokromator
Monokromator adalah suatu alat optik yang digunakan untuk memilih berkas radiasi dan panjang gelombang yang digunakan. Monokromator terdiri dari 3 bagian utama yaitu celah masuk, elemen pendispersi dan celah keluar. Komponen-komponen monokromator adalah (Underwood, 2002):
1.             Celah masuk, berfungsi membuat satu berkas radiasi. Lebar celah biasanya bervariasi sehingga intensitas radiasi dapat divariasikan. Makin lebar celah, makin kuat intensitas radiasi.
2.             Cermin, berfungsi mengumpulkan radiasi yang datang dari celah masuk dan membuatnya menjadi berkas radiasi yang paralel.
3.             Elemen pendispersi, berfungsi untuk menguraikan radiasi menjadi komponen-komponen panjang gelombang.
4.             Celah keluar, berfungsi memilih radiasi monokromatik untuk dilewatkan pada sampel. Lebar celah dapat divariasikan, tetapi makin lebar celah makin lebar pula pita panjang gelombang, padahal hal itu tidak diinginkan.

c.     Wadah sampel (kuvet)
Wadah sampel harus dapat meneruskan radiasi elektromagnetik pada daerah spektrum yang diinginkan. Sel kaca/plastik digunakan untuk rentang daerah sinar tampak, sedangkan sel kuarsa digunakan untuk daerah UV-Vis. Sel-sel harus diisi sedemikian rupa sehingga berkas sinar menembus larutan, dengan miniskus terletak seluruhnya di atas berkas (Underwood, 2002)

d.    Detektor
Detektor yang biasa digunakan pada spektofotometri UV-Vis adalah fotolistrik. Detektor ini berfungsi untuk mengubah sinar radiasi yang diterima menjadi sinyal elektronik (Underwood, 2002).

e.       Pencatat
Pencatat berfungsi untuk menerima dan merekam informasi yang diberikan oleh detektor (Fessenden & Fessenden, 1999).

Wednesday, June 6, 2012

Tuberkulosis (TBC)



Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang tergolong kedalam penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.  Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.

Prevalensi
Berdasarkan data mutakhir kasus tuberkulosis, setiap hari tercatat tidak kurang dari 50 ribu orang di dunia meninggal karena tuberkulosis (TB). Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi penyakit ini, dan lebih dari 8 juta orang setiap tahunnya diyatakan sebagai penderita tuberkulosis (TB), demikian juga dengan data yang dirilis WHO, ternyata penyakit ini menjadi penyebab kematian utama di dunia seiring dengan makin tingginya kasus HIV. Kombinasi TB dan HIV menjadi penyakit yang paling ditakuti, dan bahkan dapat mematikan apabila tidak ditangani dengan benar.
Departemen kesehatan RI menyatakan bahwa penderita TB yang terbanyak ada di Indonesia bagian timur, dan ini sangat lekat dengan kemiskinan, gizi dan sanitasi lingkungan yang buruk. Untuk tahun 2006, WHO menetapkan bahwa prevalensi kasus di provinsi Jawa Barat adalah 107 per 100 ribu penduduk, hal ini berarti bahwa ada sekitar 41.198 penderita baru ditemukan di Jawa Barat, dan ini menunjukkan bahwa Jawa Barat menempati urutan ke empat di Indonesia setelah Sulawesi Utara, Gorontalo dan DKI-Jakarta (Pikiran Rakyat,23 Maret 2006). Angka-angka tersebut di atas sangat tergantung pada cakupan temuan penderita TB baru di daerah-daerah tersebut. Cakupan temuan di Jawa Barat termasuk tertinggi bila dibandingkan dengan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hasil survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menunjukkan bahwa penyakit TBC adalah penyebab kematian no. 1 dari golongan penyakit infeksi pada semua kelompok usia. Pada tahun 1999, WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TBC dengan kematian karena TBC sekitar 140.000. Diperkirakan pada setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru TBC, BTA positif. Penyakit TBC menyerang sebagian besar kelompok usia produktif, kelompok ekonomi lemah dan berpendidikan rendah.

Patofisiologi
1. Penyebaran Tuberkulosis
Tempat masuk M. tuberculosis adalah melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara (batuk dan bersin) yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung basil-basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Kontak yang terlalu dekat dengan penderita TB akan memperbesar kemungkinan penularan.
Tuberkulosis ditularkan dari penderita ke orang lain, terutama melalui saluran nafas dengan menghisap atau menelan tetes-tetes ludah atau dahak (droplet infection) yang mengandung basil tuberculosis (TB) dan penyebaran dapat terjadi dengan adanya kontak antara tetes ludah atau dahak dengan luka. Dalam tetesan-tetesan ini, kuman dapat hidup beberapa jam di udara panas lembab, dan dapat hidup beberapa hari dalam nanah (Tan Hoan Tjay, 2002) .
Sumber penularan adalah pasien tuberculosis (TB) positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya, seperti terlihat pada gambar 2.1. Faktor yang memungkinkan seseorang terkena kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (DEPKES RI, 2006).

Masuknya Mycobacterium tuberculosis ke dalam organ paru-paru menyebabkan terjadinya infeksi, dan kemudian akan terbentuk pertumbuhan koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular). Bakteri ini juga dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening, sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan organ lainnya. Dengan reaksi imunologis, sel-sel pada dinding paru-paru berusaha menghambat Mycobacterium tuberculosis ini melalui mekanisme alamiahnya, yaitu membentuk jaringan parut. Akibatnya Mycobacterium tuberculosis tersebut akan diam atau beristirahat (dormant) seperti yang tampak pada pemeriksaan X-ray atau foto rontgen.
Seseorang dengan kondisi daya tahan tubuh yang baik, bentuk bakterinya akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Pada orang yang memilki sistem kekebalan tubuh rendah atau kurang, bakteri ini akan mengalami pengembangbiakan dan bakterinya akan bertambah banyak, sehingga bakteri yang banyak ini akan berkumpul dan membentuk sebuah ruang di dalam rongga paru-paru, ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (riak atau dahak). Orang yang rongga paru-parunya memproduksi sputum di dalamnya dan terkandung Mycobacterium tuberculosis disebut sedang mengalami pertumbuhan bakteri dan positif terinfeksi tuberkulosis (TB).   

2. Klasifikasi Penyakit
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru tidak termasuk pleura ( Selaput Paru ).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak , TBC Paru dibagi dalam :
a.        Tuberkulosis Paru BTA Positif
§  Sekurang-kurang 2 dari 3 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif
§  1 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menujukkan gambar tuberkulosis aktif.
b.        Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. TBC paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya , yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan gambar kerusakan paru yang luas dan/atau keadaan umum penderita buruk. Riwayat terjadinya TB paru dibedakan menjadi 2, yaitu :

a.       Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuma TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

b.      Infeksi pasca primer (Post Primary TB)
TB Paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi buruk. Ciri khas dari TB Paru pasca primer adalah kerusakan Paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Tanpa pengobatan setelah 5 tahun, 50% dari penderita TB Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular (Departemen Kesehatan, 2003).
Menurut WHO, penyebaran HIV di kawasan Asia Pasifik menyebabkan terjadinya peningkatan kasus TB. Hal ini dikarenakan HIV merusak sistem kekebalan tubuh penderita, sehingga meningkatkan peluang terjadinya infeksi oleh kuman TB (Tan Hoan Tjay, 2002).

3.    Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura selaput otak, selaput jantung (pericardium) kelenjar limfe, tulang persendian, kulit ,usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yaitu :
a.         TBC Ekstra Paru Ringan
Misalnya TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b.         TBC Ekstra Paru Berat
Misal : meningtis , millier, perikarditis, peritionitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang , TBC Usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.Yang dimaksud dengan TBC paru adalah TBC dari parenchyma paru, Sebab itu TBC pada pleura atau TBC, pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologis paru, dianggap sebagai penderita TBC ekstra paru. Bila seorang penderita TBC paru juga mempunyai TBC ekstra paru maka untuk kepentingan pencatatan , penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita TBC paru. Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ maka dicatat sebagai TBC ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

4.  Gejala Penyakit Tuberkulosis

Gejala penyakit tuberkulosis digolongkan menjadi dua bagian, yaitu gejala umum dan gejala khusus. Sulitnya mendeteksi dan menegakkan diagnosis tuberkulosis disebabkan gambaran secara klinis dari  penderita yang tidak khas, terutama pada kasus-kasus baru.
A.      Gejala Umum (Sistemik)
·         Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari dan disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul
·         Penurunan nafsu makan dan berat badan
·         Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
·         Perasaan tidak enak (malaise) dan lemah
B.  Gejala Khusus (Khas)
·         Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara nafas melemah yang disertai sesak.
·         Jika ada cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
·         Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, dan kemudian muara ini akan mengeluarkan cairan nanah.
·         Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

5.   Diagnosis Tuberkulosis
Metode diagnosis tuberkulosis terhadap pasien sangat penting dalam upaya untuk mengurangi kemungkinan bertambahnya sumber penyebaran infeksi tuberkulosis. Diagnosis juga berperan dalam menentukan metode pengobatan yang sesuai sehingga dapat mengurangi angka kematian yang disebabkan infeksi tuberkulosis. Apabila seseorang dicurigai menderita atau tertular penyakit tuberkulosis, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk memberikan diagnosis yang tepat, antara lain :
a.  Anamnesa, baik terhadap pasien maupun keluarganya.
b.  Pemeriksaan fisik secara langsung.
c.  Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
Peningkatan pada perhitungan sel darah putih dengan dominasi limfosit akibat meningkatkan aktivitas sel-sel imun dalam tubuh.
d. Pemeriksaan Patologi Anatomi (PA).
e. Rontgen dada (thorax photo).
Umumnya diagnosis TBC Paru dapat ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis, namun pada kondisi tertentu perlu dilakukan pemeriksaan roentgen. Gambaran non-spesifik yang ditemukan pada foto roentgen dada pada seorang penderita yang diduga infeksi paru lain dan tidak menunjukkan perbaikan pada pengobatan dengan antibiotik, ada kemungkinan penyebabnya adalah TBC (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002).
f.  Uji Tuberkulin
Uji Tuberkulin (Mantoux)
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TBC terutama anak-anak atau balita. Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikkan intra kutan) dengan semprit tuberkulin 1cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah  penyuntikkan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam millimeter.
Tes tuberculin positif bila indurasi > 10 mm (pada gizi baik), atau > 5 mm pada gizi buruk. Bila uji tuberculin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun, uji tuberkulin dapat negatif pada anak TBC berat dengan alergi (malnutrisi, penyakit sangat berat, pemberian imunosupresif dan lain-lain). Jika hasil uji meragukan dilakukan uji ulang (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002).

Reaksi Cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tuberkulosa (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002).

7.   Faktor Resiko TBC
Yang termasuk faktor resiko dari Tuberkulosis paru adalah:
a. Faktor Umur.
Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.
b. Faktor Jenis Kelamin.
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat.
d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
e. Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
f. Kepadatan hunian kamar tidur
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
g. Pencahayaan
Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.
h. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.
i. Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman. Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.
j. Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
k. Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit.
l. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.

TERAPI DAN PENGOBATAN
Terapi non Farmakologi
 1.Pencegahan Penularan TBC
Pencegahan penularan TBC Bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi tuberculosis. Adapun usaha yang dapat dilakukan adalah :
a. Meningkatkan kekebalan tubuh dengan melakukan imunisasi BCG (Bacilli Calmette Guerini) pada bayi dan mengkonsumsi nutrisi bergizi dan sehat. Vaksin BCG merupakan biakan hidup pilihan yang dilemahkan dari basil calmette gurein mycobacterium tuberculosis. Diberikan pada bayi sebelum berusia 2 bulan. Vaksin ini memberikan mekanisme imunisasi aktif dimana pemberian vaksin akan merangsang pembentukan antibodi tubuh secara alamiah terhadap bakteri penyebab TBC.
b.Memelihara kebersihan lingkungan dan membangun rumah dengan konstruksi yang sehat seperti pengaturan udara yang baik dengan ventilasi, cukup terkena sinar matahari, dll. Terutama apabila ada anggota keluarga ataupun tetangga yang terinfeksi TBC.
c.Tidak melakukan kontak yang terlalu dekat dan terlalu lama dengan penderita.
d. Membiasakan diri untuk tidak meludah sembarangan.

e.  Apabila anggota keluarga terserang TBC, maka lakukan :
1. Sterilisasi dahak, seprai, sarung bantal, dsb, dengan cara :
§  Sinar matahari langsung membunuh bakteri TBC dalam waktu 5 menit. Menjemur di udara dan dibawah sinar matahari semua bahan-bahan seperti selimut, wol, katun dan sebagainya. Merupakan metode yang baik dan sederhana, terutama di daerah tropis.
§  Sodium Hipoklorit (1%) melarutkan dahak dan membunuh bakteri TBC dengan cepat, tetapi harus digunakan di wadah gelas. Tambahkan hipoklorit dua kali volume dahak (bakteri TBC dapat bertahan selama beberapa jam dalam fenol 5%).
§  Panas : bakteri TBC dimusnahkan dalam waktu 20 menit pada suhu 60ºC dan dalam 5 menit pada suhu 70ºC. Tisu harus dibakar selekas mungkin sesudah digunakan.
2.Memberikan pengarahan pada penderita agar tidak meludah sembarangan dan menutup mulut apabila batuk.
3.Melakukan pemeriksaan kesehatan bagi semua anggota keluarga penderita dan diberikan INH untuk pencegahan terutama pada individu yang rentan (anak-anak).

2.Stategi Pemberantasan TBC
Sejak tahun 1995 program pemberantasan tuberkulosis paru di Indonesia telah dilaksanakan dengan strategi DOTS (directly observed treatment shortcourse chemotherapy) yang direkomendasi oleh WHO. Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan GERDUNAS–TBC, sehingga pemberantasan penyakit tuberkulosis paru berubah menjadi Program Penanggulangan Tuberkulosis (TBC). Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost-effective.
Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO, terdiri atas 5 komponen, yaitu :
a.Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
b.Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c.Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas menelan obat (PMO).
d.Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
e.Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TBC.

Terapi Farmakologi



1.  Pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Pengobatan penderita dengan menggunakan OAT  memiliki beberapa tujuan yaitu:
1.      Menyembuhkan penderita
2.      Mencegah kematian
3.      Mencegah kekambuhan
4.      Menurunkan tingkat penularan
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002).
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, agar semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Prinsip dasar dalam pemberian OAT yang harus diperhatikan adalah :
·         Resistensi terhadap OAT
·         Populasi bakteri
·         Persisten
·         Compliance
·         Mekanisme kerja obat-obatan
Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai obat yang digunakan tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat, bakteri TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung Directly Observed Treatment (DOT) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Adapun obat – obat yang digunakan dalam pengobatan TBC adalah sebagai berikut :
a.       Obat pilihan pertama (first line drug)
Isoniazid (INH)
Rifampisin
Etambutol
Streptomisin
Pirazinamid
b.      Obat pilihan kedua :
Etionamid
Para amino salisilat
Sikloresin
Kanamisin
Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk memudahkam pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Paduan standar OAT tersebut adalah :
a.         Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Obat ini diberikan untuk :
§Penderita baru TBC Paru BTA Positif
§  Penderita TBC Paru BTA negatif rontgen positif
§  Penderita TBC Ekstra Paru berat
Obat yang diberikan adalah :
§  Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE ).
§  Tahap lanjutan terdiri dari isoniasid (H) dan Rifampisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3 ).

  b.    Kategori –2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 )
Obat ini diberikan untuk :
§  Penderita kambuh (relaps)
§  Penderita Gagal ( failure)
§  Penderita dengan Pengobatan setelah lalai (after default)
Obat yang diberikan adalah :
§  Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H) , Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari.
§  Tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
c. Kategori –3 (2HRZ / 4H3R3)
Obat ini diberikan untuk :
§  Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
§  Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis) pleuritis eksudativa unilateral TBC kulit , tbc tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan kelenjar aderenal.
Obat yang diberikan adalah :    
§  Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ)
§  Tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).
     d. Obat Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap hari selama 1 bulan.

3. Dosis Panduan
Tabel IV.1 Dosis untuk Panduan OAT KDT untuk Kategori 1
Bobot Badan
Tahap Intensif
(tiap hari selama 56 hari)
RHZE(150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
(3 x seminggu selama 16 minggu)
RH (150/150)
30 – 37 kg
2 tablet 4KDT
2 tablet 2KDT
38 – 54 kg
3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT
55 – 70 kg
4 tablet 4KDT
4 tablet 2KDT
≥ 71 kg
5 tablet 4KDT
5 tablet 2KDT

Tabel IV.2 Dosis untuk Panduan OAT KDT untuk Kategori 2

Bobot Badan
                       Tahap Intensif
(tiap hari)
RHZE(150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan
(3 x seminggu)
RH (150/150) + E (275)
Selama 56 hari
Selama 28 hari
Selama 20 minggu
30 – 37 kg
2 tablet 4KDT
+ 500 mg Strep inj.
2 tablet 4KDT
2 tablet 2KDT
+ 2 tab Etambutol
38 – 54 kg
3 tablet 4KDT
+ 750 mg Strep inj.
3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT
+ 3 tab Etambutol
55 – 70 kg
4 tablet 4KDT
+ 1000 mg Strep inj
4 tablet 4KDT
4 tablet 2KDT
+ 4 tab Etambutol
≥ 71 kg
5 tablet 4KDT
+ 1000 mg Strep inj
5 tablet 4KDT
5 tablet 2KDT
+ 5 tab Etambutol

Tabel IV.3 Dosis untuk Panduan OAT untuk Kategori 3
Bobot Badan
Tahap Intensif
(tiap hari selama 60 hari)
RHZ(450/300/500)
Tahap Lanjutan
(3 x seminggu selama 18 minggu)
RH (450/300)
30 – 50 kg
1 tablet RH + 3 tablet Z
1 tablet R dan 2 Tablet H

Tabel IV.4 Dosis untuk Panduan OAT Sisipan
Bobot Badan
Tahap Intensif (tiap hari selama 30 hari) RHZE(450/300/500/250)
30 – 50 kg
1 tablet RH + 3 tablet ZE

Tabel IV. 5 Dosis untuk Panduan Anak-anak
Berat Badan
Jenis Obat
Isoniasid
Rifampisin
Pirasinamid
< 10 kg
50 mg
75 mg
150 mg
10 – 20 kg
100 mg
150 mg
300 mg
20 -  33 kg
200 mg
300 mg
600 mg
Berdasarkan rekomendasi IDAI

4. Obat-obat tersendiri
a.Isoniazid
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat menumbuhkan 90% populasi kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu bakteri yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. Mekanisme kerja Isoniazid bekerja dengan menghambat sintesis asam mikolat, komponen terpenting pada dinding sel bakteri.

b.Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh bakteri semi-domant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. Mekanisme kerja Rifampisin menghambat aktivitas polymerase RNA yang tergantung DNA pada sel-sel yang rentan terhadap isoniazid.

c.Pirazinamid 
Pirazinamid adalah analog pirazin dari nikotinamid yang bersifat bakteriostatik atau bakteris terhadap mycobacterium tuberculosis tergantung pada dosis pemberiannya. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB. Mekanisme Kerja belum diketahui.

d.Ethambutol (E)
Bersifat bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/hari BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB. Mekanisme Kerja Etambutol menghambat sintesis minimal 1 metabolit yang menyebabakan kerusakan pada metabolisme sel, menghambat multiplikasi dan menyebabkan kematian sel pada bakteri.
         
e.Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk berumur 60  tahun keatas diberikan 0,50 mg/hari. Mekanisme Kerja Sterptomisin membunuh bakteri dengan mempengaruhi sintesa protein.
 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002).  

5.     Efek Samping Obat
Tabel IV.6 Efek Samping Ringan OAT
Efek samping
Obat yang menyebabkan
Penanganan
Tidak ada nafsu makan mual sakit
perut
Rifampisin
Obat dimunun malam sebelum tidur
Nyesi Sendi
Pirasinamid
Beri aspirim
Kesemutan s/d rasa terbakar di Kaki
INH
Beri Vitamin 86 ( PIRIDOXIN per hari
Warna kemerahan pada air seni (
urine )
Rifampisin
Tidak erlu diberi apa-apa tapi perlu
penyelasan kepada penderitas



Tabel IV.7 Efek Samping Berat OAT
Efek samping
Obat yang menyebabkan
Penanganan
Gatal dan Kemerahan kulit
Semua jenis OAT
*ikuti penataklaksanaan di bawah.
Tuli
Streptomisin
Strptomisin dihentikan gantiEtambutol
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Streptomisin dihentikan ganti Etambutol
Ikterus tanpa penyebab lain
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT sampai ikterusmenghilang
Bingung dan muntah-muntah (pemulaan ikterus karena obat
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT segera lakukan tes fungsi hati
Gangguan penglihatan
Etambutol
Hentikan Etambutol
Purpura dan renjatan ( syok )
Rifampisin
Hentikan Rifampisin

*) Penatalaksanaan Penderita dengan efek samping “ gatal dan kemerahan kulit :
Jika seorang penderita dalam pengobatan dengan OAT mulai mengeluh gatal-gatal, singkirkan dulu kemungkinan penyabab lain, berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian penderita hilang, namun pada sebagian penderita malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, kepada penderita tersebut perlu diberikan kortikosteroid dan /atau tindakkan suportif lainnya (infus). Kalau Jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging “ dengan maksud untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut. Untuk maksud tersebut, sebaiknya penderita dirujukan ke unit pelayanan spesialistik. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya Pirazinamid atau Etambutol atau Streptomisin, maka pengobatan TBC dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjanya kambuh. Kadang-kadang pada penderita timbul reaksi hipersensitivitas (Kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek.


6. Pengobatan TBC pada Keadaan Khusus
a.Wanita hamil
Pada prinsipnya pengobatan TBC pada wanita hamil tidak berbeda dengan pengobatan TBC pada umumnya. Semua Jenis OAT aman untuk wanita hamil kecuali Streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada wanita hamil karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting, artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkannya terhindar dari kemungkinan penularan TBC.
b. Ibu menyusui dan lbayinya
Pada prinsipnya pengobatan TBC pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umunya Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui seorang ibu menyusui yang menderita TBC harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TBC kepada bayinya ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus menyusui, pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. Namun dari beberapa pendapat, ibu sebaiknya tidak menyusui atau mengurangi menyusui agar mempercepat penyembuhan ibu tersebut (menyusui mengurangi nutrisi ibu, sedangkan nutrisi sangat dibutuhkan untuk sistem imunitas).
c. Wanita penderita TBC pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal ( pil KB. Sntikan KB, Susuk KB ), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang wanita penderita TBC seyogyanya menggunakan kontrasepsi non hormonal atau kontrasepsi yang mengandyng estrogen dosis tinggi (50 µg).
d.Penderita TBC dengan infeksi HIV/AIDS
Pada penderita HIV-TB, prioritas utama adalah mengobati TB, terutama untuk kasus BTA positif.
Prosedur pengobatan TBC pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti penderita TBC lainnya. Obat TBC pada penderita HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS.
Joint United Nation Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) dan WHO merekomendasikan penggunaan Kotrimoksazol sebagai pencegahan terhadap TB. Masih diperlukan studi lanjut tentang keefektifan metode pencegahan ini. Dosis yang direkomendasikan : Kotrimoksazol (Sulfamethoxazol (SMX) dan Trimetoprim (TMP) 5:1) untuk dewasa 960 mg sehari dan untuk anak-anak SMX 20 mg/kg, TMP 4 mg/kg sehari sekali.
e.Penderita TBC dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada penderita TBC dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan karena sebagian besar OAT bersifat hepatotoksik (terutama INH dan Rifampisin). Pada keadaan dimana pengobatan TBC sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hapatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
f.Penderita TBC dengan kelaian hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati. Dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan TBC kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat diteruskan dengan pengawasan ketat. Penderita dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan Paduan obat yang dapat dianjurkan adalah 2 RHRS/ 6RH atau 2 HES/10 HE.
g.Penderita TBC dengan gangguan ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis normal pada penderita-penderita dengan gangguan ginjal Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal. Oleh karena itu hindari penggunaannya pada penderita dengan gangguan ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk penderita dengan gangguan ginjal adalah 2RHZ/6HR. Apabila sangat diperlukan, Etambutol dan streptomisin tetap dapat diberikan dosis yang sesuai faal ginjal dengan pengawasan fungsi ginjal.
h.Penderita TBC dengan Diabetes Melitus
Diabetesnya harus dikontrol, perlu diperhatikan bahwa penggunaan Rifampisin akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setalah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan antidiabetes oral. Hati-hati dengan penggunaan Etambutol, karena mempunyai komplikasi terhadap mata.
i.Penderita–penderita TBC yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadan khusus yang membahayakan jiwa penderita seperti :
-   Meningitis
-   TBC miller dengan atau tanpa gejala-gejala meningitis
-   TBC Pleuritis eksidativa
-   TBC Perikarditis konstrikiva
Prednison diberikan dengan dosis 30 – 40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap 5-10 mg. Lama pemberian disesusikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002).



DAFTAR PUSTAKA

departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan kedelapan. Jakarta, 2002.

   David S., , Tuberculosis of Bones and Joints, A Text Book of Radiology and Imaging, Ed. 4 Vol.1, London, 1987 : 253-257.
  
   IUALTD. Tuberculosis Guide For High Prevalence Countries, The Macmillan Prees Limited, 1992.

    Mangunnegoro Hardiarto, Suryatenggara Wibowo. Pedoman Praktis dan Penata Pelaksanaan Tuberkulosis Paru. Jakarta : IDI, 1993.

S  hulman, Phair, Sommers., Dasar Biologi dan Klinis, Penyakit Infeksi Edisi ke-4, Jogjakarta: UGM Press, 1994 : 213-214.

Tim Redaksi, Cermin Dunia Kedokteran “Tuberkulosis”, International Standard Serial Number: 0125 – 913X, 1995.