Tuberkulosis
adalah suatu penyakit yang tergolong kedalam penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal
juga sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap
dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama
beberapa tahun.
Prevalensi
Prevalensi
Berdasarkan data mutakhir kasus
tuberkulosis, setiap hari tercatat tidak kurang dari 50 ribu orang di dunia
meninggal karena tuberkulosis (TB).
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi penyakit ini, dan lebih dari 8 juta
orang setiap tahunnya diyatakan sebagai penderita tuberkulosis (TB), demikian juga dengan data yang dirilis WHO,
ternyata penyakit ini menjadi penyebab kematian utama di dunia seiring dengan
makin tingginya kasus HIV. Kombinasi TB dan HIV menjadi penyakit yang paling
ditakuti, dan bahkan dapat mematikan apabila tidak ditangani dengan benar.
Departemen kesehatan RI menyatakan bahwa
penderita TB yang terbanyak ada di Indonesia bagian timur, dan ini sangat lekat
dengan kemiskinan, gizi dan sanitasi lingkungan yang buruk. Untuk tahun 2006,
WHO menetapkan bahwa prevalensi kasus di provinsi Jawa Barat adalah 107 per 100
ribu penduduk, hal ini berarti bahwa ada sekitar 41.198 penderita baru
ditemukan di Jawa Barat, dan ini menunjukkan bahwa Jawa Barat menempati urutan
ke empat di Indonesia setelah Sulawesi Utara, Gorontalo dan DKI-Jakarta
(Pikiran Rakyat,23 Maret 2006). Angka-angka tersebut di atas sangat tergantung
pada cakupan temuan penderita TB baru di daerah-daerah tersebut. Cakupan temuan
di Jawa Barat termasuk tertinggi bila dibandingkan dengan provinsi Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
Hasil survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menunjukkan bahwa
penyakit TBC adalah penyebab kematian no. 1 dari golongan penyakit infeksi pada
semua kelompok usia. Pada tahun 1999, WHO memperkirakan setiap tahun terjadi
583.000 kasus baru TBC dengan kematian karena TBC sekitar 140.000. Diperkirakan pada setiap 100.000 penduduk Indonesia
terdapat 130 penderita baru TBC, BTA positif. Penyakit TBC menyerang sebagian
besar kelompok usia produktif, kelompok ekonomi lemah dan berpendidikan rendah.
Patofisiologi
1. Penyebaran Tuberkulosis
Tempat masuk M. tuberculosis adalah melalui saluran pernafasan, saluran
pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi
melalui udara (batuk dan bersin) yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung
basil-basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Kontak yang
terlalu dekat dengan penderita TB akan memperbesar kemungkinan penularan.
Tuberkulosis ditularkan dari penderita ke orang
lain, terutama melalui saluran nafas dengan menghisap atau menelan tetes-tetes
ludah atau dahak (droplet infection)
yang mengandung basil tuberculosis
(TB) dan penyebaran dapat terjadi dengan adanya kontak antara tetes ludah atau
dahak dengan luka. Dalam tetesan-tetesan ini, kuman dapat hidup beberapa jam di
udara panas lembab, dan dapat hidup beberapa hari dalam nanah (Tan Hoan Tjay, 2002)
.
Sumber penularan
adalah pasien tuberculosis
(TB)
positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Daya penularan seorang pasien
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya, seperti terlihat
pada gambar 2.1. Faktor yang
memungkinkan seseorang terkena kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (DEPKES RI, 2006).
Masuknya Mycobacterium tuberculosis ke
dalam organ paru-paru menyebabkan terjadinya infeksi, dan kemudian akan terbentuk pertumbuhan koloni bakteri
yang berbentuk bulat (globular). Bakteri ini juga dapat mengalami penyebaran
melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening, sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain
seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan organ
lainnya. Dengan reaksi imunologis, sel-sel pada dinding paru-paru berusaha
menghambat Mycobacterium tuberculosis ini melalui mekanisme alamiahnya, yaitu membentuk jaringan parut. Akibatnya Mycobacterium
tuberculosis tersebut akan diam atau beristirahat (dormant) seperti yang tampak pada pemeriksaan X-ray atau foto rontgen.
Seseorang dengan kondisi
daya tahan tubuh yang baik, bentuk bakterinya akan tetap dormant
sepanjang hidupnya. Pada orang yang memilki sistem kekebalan tubuh rendah atau
kurang, bakteri ini akan mengalami pengembangbiakan dan bakterinya akan bertambah banyak,
sehingga bakteri
yang banyak ini akan berkumpul dan
membentuk sebuah ruang di dalam
rongga paru-paru, ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum
(riak atau dahak). Orang yang rongga paru-parunya memproduksi sputum di
dalamnya dan terkandung Mycobacterium
tuberculosis disebut sedang
mengalami pertumbuhan bakteri dan positif terinfeksi tuberkulosis (TB).
2. Klasifikasi
Penyakit
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis
yang menyerang jaringan paru tidak termasuk pleura ( Selaput Paru ).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak ,
TBC Paru dibagi dalam :
a.
Tuberkulosis Paru BTA Positif
§ Sekurang-kurang
2 dari 3 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif
§ 1
Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menujukkan gambar
tuberkulosis aktif.
b.
Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS
hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambar tuberkulosis
aktif. TBC paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya , yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambar
foto rontgen dada memperlihatkan gambar kerusakan paru yang luas dan/atau
keadaan umum penderita buruk. Riwayat terjadinya TB paru dibedakan menjadi 2, yaitu :
a.
Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang
terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil
ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan
terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai
saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru,
yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuma TB
ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks
primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer
adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan
reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer
tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas
seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap
sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh
tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan,
yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu
waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan
sekitar 6 bulan.
b.
Infeksi pasca primer (Post Primary TB)
TB Paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi buruk. Ciri khas dari TB Paru pasca primer
adalah kerusakan Paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Tanpa pengobatan setelah 5 tahun, 50% dari penderita TB Paru akan meninggal,
25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25% sebagai kasus
kronik yang tetap menular (Departemen Kesehatan, 2003).
Menurut WHO, penyebaran HIV di kawasan Asia
Pasifik menyebabkan terjadinya peningkatan kasus TB. Hal ini dikarenakan HIV
merusak sistem kekebalan tubuh penderita, sehingga meningkatkan peluang
terjadinya infeksi oleh kuman TB (Tan
Hoan Tjay, 2002).
3. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura selaput otak, selaput jantung (pericardium)
kelenjar limfe,
tulang persendian, kulit ,usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan
lain-lain TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit
yaitu :
a.
TBC Ekstra
Paru Ringan
Misalnya TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral
tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b.
TBC Ekstra
Paru Berat
Misal : meningtis , millier,
perikarditis, peritionitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang ,
TBC Usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.Yang dimaksud dengan TBC paru
adalah TBC dari parenchyma paru, Sebab itu TBC pada pleura atau TBC, pada
kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologis paru, dianggap sebagai penderita
TBC ekstra paru. Bila
seorang penderita TBC paru juga mempunyai TBC ekstra paru maka untuk
kepentingan pencatatan , penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita TBC
paru. Bila seorang penderita ekstra paru
pada beberapa organ maka dicatat sebagai TBC ekstra paru pada organ yang penyakitnya
paling berat.
4. Gejala Penyakit Tuberkulosis
Gejala penyakit tuberkulosis digolongkan menjadi dua
bagian, yaitu gejala umum dan gejala khusus. Sulitnya mendeteksi dan menegakkan
diagnosis tuberkulosis
disebabkan gambaran secara klinis dari
penderita yang tidak khas, terutama pada kasus-kasus baru.
A. Gejala
Umum (Sistemik)
·
Demam tidak terlalu tinggi yang
berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari dan disertai keringat malam.
Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul
·
Penurunan nafsu makan dan berat badan
·
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu
(dapat disertai dengan darah)
·
Perasaan tidak enak (malaise) dan lemah
B. Gejala Khusus (Khas)
·
Tergantung dari organ tubuh mana yang
terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke
paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan
menimbulkan suara nafas melemah yang disertai sesak.
·
Jika ada cairan di rongga pleura
(pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
·
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi
gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan
bermuara pada kulit di atasnya, dan kemudian muara ini akan mengeluarkan cairan
nanah.
·
Pada anak-anak dapat mengenai otak
(lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak),
gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
5. Diagnosis
Tuberkulosis
Metode
diagnosis tuberkulosis terhadap pasien sangat penting dalam upaya untuk
mengurangi kemungkinan bertambahnya sumber penyebaran infeksi tuberkulosis.
Diagnosis juga berperan dalam menentukan metode pengobatan yang sesuai sehingga
dapat mengurangi angka kematian yang disebabkan infeksi tuberkulosis. Apabila
seseorang dicurigai menderita atau tertular penyakit tuberkulosis, maka ada
beberapa hal yang perlu dilakukan untuk memberikan diagnosis yang tepat, antara
lain :
a. Anamnesa, baik terhadap pasien maupun
keluarganya.
b. Pemeriksaan fisik secara langsung.
c. Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak,
cairan otak).
Peningkatan pada perhitungan sel
darah putih dengan dominasi limfosit akibat meningkatkan aktivitas sel-sel imun
dalam tubuh.
d. Pemeriksaan Patologi Anatomi (PA).
e. Rontgen dada (thorax photo).
Umumnya
diagnosis TBC Paru dapat ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis, namun pada kondisi tertentu perlu dilakukan pemeriksaan roentgen. Gambaran non-spesifik yang
ditemukan pada foto roentgen dada
pada seorang penderita yang diduga infeksi paru lain dan tidak menunjukkan
perbaikan pada pengobatan dengan antibiotik, ada kemungkinan penyebabnya adalah
TBC (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002).
f. Uji Tuberkulin
Uji Tuberkulin (Mantoux)
Pemeriksaan ini
masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TBC terutama anak-anak
atau balita. Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikkan intra kutan) dengan semprit tuberkulin 1cc
jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2
TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah
penyuntikkan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi.
Ukuran dinyatakan dalam millimeter.
Tes tuberculin
positif bila indurasi > 10 mm (pada gizi baik), atau > 5 mm pada gizi
buruk. Bila uji tuberculin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan
kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun, uji tuberkulin dapat negatif pada
anak TBC berat dengan alergi (malnutrisi, penyakit sangat berat, pemberian
imunosupresif dan lain-lain). Jika hasil uji meragukan dilakukan uji ulang
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002).
Reaksi Cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi
reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka
anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium
tuberkulosa (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002).
7. Faktor Resiko TBC
Yang termasuk
faktor resiko dari Tuberkulosis paru adalah:
a. Faktor Umur.
Insiden
tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50
tahun.
b. Faktor Jenis Kelamin.
Di benua Afrika
banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah
penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita
TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada
wanita. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya TB paru.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan
seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai
rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga
dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku
hidup bersin dan sehat.
d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan
menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja
bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar
akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis
udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala
penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
e. Kebiasaan Merokok
Merokok
diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan
kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker
kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru
sebanyak 2,2 kali. Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih
dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari
5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
f. Kepadatan
hunian kamar tidur
Luas lantai
bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas
lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar
tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota
keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga
yang lain.
g. Pencahayaan
Cahaya ini
sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah,
misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk
cahaya yang cukup. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari
segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama
apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam
waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB
Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk
dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni
akan sangat berkurang.
h. Ventilasi
Ventilasi
mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara
didalam rumah tersebut tetap segar. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah,
disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam
ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.
Fungsi
kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri,
terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus
menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya
adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam
kelembaban (humiditiy) yang optimum.
i. Kondisi
rumah
Kondisi
rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap,
dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman. Lantai dan
dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan
dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium
tuberculosis.
j. Kelembaban
udara
Kelembaban
udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum
berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati
bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
k. Status
Gizi
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang
mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan
orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap
penyakit.
l. Keadaan
Sosial Ekonomi
Keadaan
sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan,
gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat
menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan
sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka
akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena
infeksi TB Paru.
TERAPI DAN PENGOBATAN
Terapi non Farmakologi
1.Pencegahan Penularan TBC
Pencegahan penularan TBC Bertujuan untuk mencegah terjadinya
infeksi tuberculosis. Adapun usaha yang dapat dilakukan adalah :
a. Meningkatkan kekebalan
tubuh dengan melakukan imunisasi BCG (Bacilli
Calmette Guerini) pada bayi dan mengkonsumsi nutrisi bergizi dan sehat.
Vaksin BCG merupakan biakan hidup pilihan yang dilemahkan dari basil calmette
gurein mycobacterium tuberculosis.
Diberikan pada bayi sebelum berusia 2 bulan. Vaksin ini memberikan mekanisme
imunisasi aktif dimana pemberian vaksin akan merangsang pembentukan antibodi
tubuh secara alamiah terhadap bakteri penyebab TBC.
b.Memelihara kebersihan lingkungan dan membangun rumah dengan konstruksi yang sehat seperti pengaturan udara yang baik dengan ventilasi, cukup terkena sinar matahari, dll. Terutama apabila ada anggota keluarga ataupun tetangga yang terinfeksi TBC.
b.Memelihara kebersihan lingkungan dan membangun rumah dengan konstruksi yang sehat seperti pengaturan udara yang baik dengan ventilasi, cukup terkena sinar matahari, dll. Terutama apabila ada anggota keluarga ataupun tetangga yang terinfeksi TBC.
c.Tidak melakukan kontak
yang terlalu dekat dan terlalu lama dengan penderita.
d. Membiasakan diri untuk
tidak meludah sembarangan.
e. Apabila anggota
keluarga terserang TBC, maka lakukan :
1. Sterilisasi
dahak, seprai, sarung bantal, dsb, dengan cara :
§ Sinar
matahari langsung membunuh bakteri TBC dalam waktu 5 menit. Menjemur di udara
dan dibawah sinar matahari semua bahan-bahan seperti selimut, wol, katun dan
sebagainya. Merupakan metode yang baik dan sederhana, terutama di daerah tropis.
§ Sodium
Hipoklorit (1%) melarutkan dahak dan membunuh bakteri TBC dengan cepat, tetapi
harus digunakan di wadah gelas. Tambahkan hipoklorit dua kali volume dahak
(bakteri TBC dapat bertahan selama beberapa jam dalam fenol 5%).
§ Panas
: bakteri TBC dimusnahkan dalam waktu 20 menit pada suhu 60ºC dan dalam 5 menit
pada suhu 70ºC. Tisu harus dibakar selekas mungkin sesudah digunakan.
2.Memberikan
pengarahan pada penderita agar tidak meludah sembarangan dan menutup mulut
apabila batuk.
3.Melakukan
pemeriksaan kesehatan bagi semua anggota keluarga penderita dan diberikan INH
untuk pencegahan terutama pada individu yang rentan (anak-anak).
2.Stategi Pemberantasan TBC
Sejak
tahun 1995 program pemberantasan tuberkulosis paru di Indonesia telah
dilaksanakan dengan strategi DOTS (directly
observed treatment shortcourse chemotherapy) yang direkomendasi oleh WHO.
Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan GERDUNAS–TBC, sehingga
pemberantasan penyakit tuberkulosis paru berubah menjadi Program Penanggulangan
Tuberkulosis (TBC). Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi
kesehatan yang paling cost-effective.
Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO, terdiri atas
5 komponen, yaitu :
a.Komitmen politis dari para pengambil
keputusan, termasuk dukungan dana.
b.Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis.
c.Pengobatan dengan paduan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas
menelan obat (PMO).
d.Kesinambungan persediaan OAT jangka
pendek dengan mutu terjamin.
e.Pencatatan dan pelaporan secara baku
untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TBC.
1. Pengobatan
dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Pengobatan penderita dengan menggunakan
OAT memiliki beberapa tujuan yaitu:
1.
Menyembuhkan penderita
2.
Mencegah kematian
3.
Mencegah kekambuhan
4.
Menurunkan tingkat
penularan
(Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2002).
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi
dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, agar
semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Prinsip dasar dalam
pemberian OAT yang harus diperhatikan adalah :
·
Resistensi terhadap OAT
·
Populasi bakteri
·
Persisten
·
Compliance
·
Mekanisme kerja
obat-obatan
Dosis tahap intensif dan dosis tahap
lanjutan ditelan sebagai obat yang digunakan tunggal, sebaiknya pada saat perut
kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat, bakteri TBC akan
berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan
penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung Directly Observed Treatment (DOT) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).
Adapun
obat – obat yang digunakan dalam pengobatan TBC adalah sebagai berikut :
a. Obat
pilihan pertama (first line drug)
Isoniazid
(INH)
Rifampisin
Etambutol
Streptomisin
Pirazinamid
b. Obat
pilihan kedua :
Etionamid
Para
amino salisilat
Sikloresin
Kanamisin
Program
Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT. Paduan OAT ini
disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk memudahkam pemberian
obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai satu
paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Paduan standar OAT
tersebut adalah :
a.
Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Obat ini
diberikan untuk :
§Penderita
baru TBC Paru BTA Positif
§ Penderita
TBC Paru BTA negatif rontgen positif
§ Penderita
TBC Ekstra Paru berat
Obat yang diberikan adalah :
§ Tahap
intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan
Etambutol (E) yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE ).
§ Tahap
lanjutan terdiri dari isoniasid (H) dan Rifampisin (R) diberikan tiga kali
dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3 ).
b.
Kategori –2 ( 2HRZES / HRZE /
5H3R3E3 )
Obat ini
diberikan untuk :
§ Penderita
kambuh (relaps)
§ Penderita
Gagal ( failure)
§ Penderita
dengan Pengobatan setelah lalai (after
default)
Obat yang diberikan adalah :
§ Tahap
intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid
(H) , Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari.
§ Tahap
lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
c. Kategori –3 (2HRZ / 4H3R3)
Obat ini
diberikan untuk :
§ Penderita
baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
§ Penderita
ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis) pleuritis eksudativa
unilateral TBC kulit , tbc tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan kelenjar
aderenal.
Obat
yang diberikan adalah :
§ Tahap
intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ)
§ Tahap
lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).
d. Obat Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif
pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA
positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA
positif diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap hari selama 1 bulan.
3. Dosis
Panduan
Tabel IV.1 Dosis untuk Panduan OAT KDT
untuk Kategori 1
Bobot Badan
|
Tahap Intensif
(tiap hari selama 56 hari)
RHZE(150/75/400/275)
|
Tahap Lanjutan
(3 x seminggu selama 16 minggu)
RH (150/150)
|
30 – 37 kg
|
2 tablet 4KDT
|
2 tablet 2KDT
|
38 – 54 kg
|
3 tablet 4KDT
|
3 tablet 2KDT
|
55 – 70 kg
|
4 tablet 4KDT
|
4 tablet 2KDT
|
≥ 71 kg
|
5 tablet 4KDT
|
5 tablet 2KDT
|
Tabel IV.2 Dosis untuk Panduan OAT KDT
untuk Kategori 2
Bobot Badan
|
Tahap
Intensif
(tiap hari)
RHZE(150/75/400/275) + S
|
Tahap Lanjutan
(3 x seminggu)
RH (150/150) + E (275)
|
|
Selama 56 hari
|
Selama 28 hari
|
Selama 20 minggu
|
|
30 – 37 kg
|
2 tablet 4KDT
+ 500 mg Strep
inj.
|
2 tablet 4KDT
|
2 tablet 2KDT
+ 2 tab
Etambutol
|
38 – 54 kg
|
3 tablet 4KDT
+ 750 mg Strep
inj.
|
3 tablet 4KDT
|
3 tablet 2KDT
+ 3 tab
Etambutol
|
55 – 70 kg
|
4 tablet 4KDT
+ 1000 mg
Strep inj
|
4 tablet 4KDT
|
4 tablet 2KDT
+ 4 tab
Etambutol
|
≥ 71 kg
|
5 tablet 4KDT
+ 1000 mg
Strep inj
|
5 tablet 4KDT
|
5 tablet 2KDT
+ 5 tab
Etambutol
|
Tabel IV.3 Dosis untuk Panduan OAT untuk
Kategori 3
Bobot Badan
|
Tahap Intensif
(tiap hari selama 60 hari)
RHZ(450/300/500)
|
Tahap Lanjutan
(3 x seminggu selama 18 minggu)
RH (450/300)
|
30 – 50 kg
|
1 tablet RH +
3 tablet Z
|
1 tablet R dan
2 Tablet H
|
Tabel IV.4 Dosis untuk Panduan OAT
Sisipan
Bobot Badan
|
Tahap Intensif (tiap hari selama 30 hari)
RHZE(450/300/500/250)
|
30 – 50 kg
|
1 tablet RH +
3 tablet ZE
|
Tabel IV. 5 Dosis untuk
Panduan Anak-anak
Berat
Badan
|
Jenis
Obat
|
||
Isoniasid
|
Rifampisin
|
Pirasinamid
|
|
< 10 kg
|
50 mg
|
75 mg
|
150 mg
|
10 – 20 kg
|
100 mg
|
150 mg
|
300 mg
|
20 -
33 kg
|
200 mg
|
300 mg
|
600 mg
|
Berdasarkan rekomendasi
IDAI
4. Obat-obat
tersendiri
a.Isoniazid
Dikenal dengan
INH, bersifat bakterisid, dapat menumbuhkan 90% populasi kuman dalam keadaan
metabolik aktif, yaitu bakteri yang sedang berkembang. Dosis harian yang
dianjurkan 5 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu
diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
Mekanisme
kerja Isoniazid bekerja dengan menghambat
sintesis asam mikolat, komponen
terpenting pada dinding sel bakteri.
b.Rifampisin (R)
Bersifat
bakterisid, dapat membunuh bakteri semi-domant
(persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Dosis 10 mg/kg BB
diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. Mekanisme kerja Rifampisin menghambat aktivitas
polymerase RNA yang tergantung DNA pada sel-sel yang rentan terhadap isoniazid.
c.Pirazinamid
Pirazinamid
adalah analog pirazin dari nikotinamid yang bersifat bakteriostatik atau
bakteris terhadap mycobacterium
tuberculosis tergantung pada dosis pemberiannya. Dosis harian yang dianjurkan 25
mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan
dengan dosis 35 mg/kg BB. Mekanisme
Kerja belum diketahui.
d.Ethambutol (E)
Bersifat
bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/hari BB sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB. Mekanisme
Kerja Etambutol menghambat sintesis
minimal 1 metabolit yang menyebabakan kerusakan pada metabolisme sel,
menghambat multiplikasi dan menyebabkan kematian sel pada bakteri.
e.Streptomisin (S)
Bersifat
bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai
60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk berumur 60 tahun keatas diberikan 0,50 mg/hari. Mekanisme Kerja Sterptomisin membunuh bakteri
dengan mempengaruhi sintesa protein.
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2002).
5. Efek Samping Obat
Tabel
IV.6 Efek Samping Ringan OAT
Efek
samping
|
Obat yang
menyebabkan
|
Penanganan
|
Tidak ada nafsu makan mual sakit
perut
|
Rifampisin
|
Obat
dimunun malam sebelum tidur
|
Nyesi Sendi
|
Pirasinamid
|
Beri
aspirim
|
Kesemutan s/d rasa terbakar di Kaki
|
INH
|
Beri
Vitamin 86 ( PIRIDOXIN per hari
|
Warna kemerahan pada air seni (
urine )
|
Rifampisin
|
Tidak
erlu diberi apa-apa tapi perlu
penyelasan
kepada penderitas
|
Tabel IV.7 Efek Samping
Berat OAT
Efek
samping
|
Obat
yang menyebabkan
|
Penanganan
|
Gatal dan Kemerahan kulit
|
Semua jenis OAT
|
*ikuti penataklaksanaan di bawah.
|
Tuli
|
Streptomisin
|
Strptomisin dihentikan gantiEtambutol
|
Gangguan keseimbangan
|
Streptomisin
|
Streptomisin dihentikan ganti
Etambutol
|
Ikterus tanpa penyebab lain
|
Hampir semua OAT
|
Hentikan semua OAT sampai
ikterusmenghilang
|
Bingung dan muntah-muntah (pemulaan
ikterus karena obat
|
Hampir semua OAT
|
Hentikan semua OAT segera
lakukan tes fungsi hati
|
Gangguan penglihatan
|
Etambutol
|
Hentikan Etambutol
|
Purpura dan renjatan ( syok )
|
Rifampisin
|
Hentikan Rifampisin
|
*)
Penatalaksanaan Penderita dengan efek samping “ gatal dan kemerahan kulit :
Jika seorang penderita dalam pengobatan
dengan OAT mulai mengeluh gatal-gatal, singkirkan dulu kemungkinan penyabab
lain, berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan
ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian penderita hilang, namun pada sebagian
penderita malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini,
hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala
efek samping ini bertambah berat, kepada penderita tersebut perlu diberikan
kortikosteroid dan /atau tindakkan suportif lainnya (infus). Kalau Jenis obat
penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus
dengan cara “drug challenging “
dengan maksud untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek
samping tersebut. Untuk maksud tersebut, sebaiknya penderita dirujukan ke unit
pelayanan spesialistik. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu
telah diketahui, misalnya Pirazinamid atau Etambutol atau Streptomisin, maka
pengobatan TBC dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin,
ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu
diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjanya kambuh.
Kadang-kadang pada penderita timbul reaksi hipersensitivitas (Kepekaan) terhadap
Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh
sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek.
6. Pengobatan TBC pada Keadaan Khusus
a.Wanita hamil
Pada
prinsipnya pengobatan TBC pada wanita hamil tidak berbeda dengan pengobatan TBC
pada umumnya. Semua Jenis OAT aman untuk wanita hamil kecuali Streptomisin. Streptomisin
tidak dapat dipakai pada wanita hamil karena bersifat permanent ototoxic dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya gangguan
pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu
dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting,
artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan
dilahirkannya terhindar dari kemungkinan penularan TBC.
b. Ibu menyusui dan lbayinya
Pada prinsipnya pengobatan TBC pada ibu
menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umunya Semua jenis OAT aman untuk
ibu menyusui seorang ibu menyusui yang menderita TBC harus mendapat paduan OAT
secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah
penularan kuman TBC kepada bayinya ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi
tersebut dapat terus menyusui, pengobatan pencegahan dengan INH diberikan
kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. Namun dari beberapa
pendapat, ibu sebaiknya tidak menyusui atau mengurangi menyusui agar
mempercepat penyembuhan ibu tersebut (menyusui mengurangi nutrisi ibu,
sedangkan nutrisi sangat dibutuhkan untuk sistem imunitas).
c. Wanita penderita TBC pengguna
kontrasepsi
Rifampisin
berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal ( pil KB. Sntikan KB, Susuk KB ),
sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang wanita
penderita TBC seyogyanya menggunakan kontrasepsi non hormonal atau kontrasepsi
yang mengandyng estrogen dosis tinggi (50 µg).
d.Penderita TBC dengan infeksi
HIV/AIDS
Pada
penderita HIV-TB, prioritas utama adalah mengobati TB, terutama untuk kasus BTA
positif.
Prosedur pengobatan TBC pada penderita
dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti penderita TBC lainnya. Obat TBC pada penderita HIV/AIDS
sama efektifnya dengan pasien
TB yang tidak disertai HIV/AIDS.
Joint
United Nation Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) dan WHO merekomendasikan
penggunaan Kotrimoksazol sebagai pencegahan terhadap TB. Masih diperlukan studi
lanjut tentang keefektifan metode pencegahan ini. Dosis yang direkomendasikan :
Kotrimoksazol (Sulfamethoxazol (SMX) dan Trimetoprim (TMP) 5:1) untuk dewasa
960 mg sehari dan untuk anak-anak SMX 20 mg/kg, TMP 4 mg/kg sehari sekali.
e.Penderita TBC dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada penderita TBC dengan
hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan karena sebagian
besar OAT bersifat hepatotoksik (terutama INH dan Rifampisin). Pada keadaan
dimana pengobatan TBC sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan
Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hapatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
f.Penderita TBC dengan kelaian hati
kronik
Bila ada kecurigaan gangguan fungsi
hati. Dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan TBC kalau SGOT dan
SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT harus dihentikan. Kalau peningkatannya
kurang dari 3 kali, pengobatan dapat diteruskan dengan pengawasan ketat.
Penderita dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan Paduan
obat yang dapat dianjurkan adalah 2 RHRS/ 6RH atau 2 HES/10 HE.
g.Penderita TBC dengan gangguan
ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin dan
Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi
senyawa-senyawa
yang tidak toksik OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis normal pada
penderita-penderita dengan gangguan ginjal Streptomisin dan Etambutol
diekskresi melalui ginjal.
Oleh karena itu hindari penggunaannya pada penderita dengan gangguan ginjal.
Paduan OAT yang paling aman untuk penderita dengan gangguan ginjal adalah
2RHZ/6HR. Apabila sangat diperlukan, Etambutol dan streptomisin tetap dapat
diberikan dosis yang sesuai faal ginjal dengan pengawasan fungsi ginjal.
h.Penderita TBC dengan Diabetes
Melitus
Diabetesnya harus dikontrol, perlu diperhatikan
bahwa penggunaan Rifampisin
akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga
dosisnya perlu ditingkatkan. Insulin
dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setalah selesai pengobatan TB,
dilanjutkan dengan antidiabetes oral. Hati-hati dengan
penggunaan Etambutol, karena mempunyai komplikasi terhadap mata.
i.Penderita–penderita TBC yang perlu mendapat
tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada
keadan khusus yang membahayakan jiwa penderita seperti :
- Meningitis
- TBC miller dengan atau tanpa
gejala-gejala meningitis
- TBC Pleuritis eksidativa
- TBC Perikarditis konstrikiva
Prednison
diberikan dengan dosis 30 – 40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap
5-10 mg. Lama pemberian disesusikan dengan jenis penyakit dan kemajuan
pengobatan. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002).
DAFTAR
PUSTAKA
departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan kedelapan. Jakarta, 2002.
departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan kedelapan. Jakarta, 2002.
David S., , Tuberculosis of Bones and Joints,
A Text Book of Radiology and Imaging, Ed. 4 Vol.1, London, 1987 : 253-257.
IUALTD. Tuberculosis
Guide For High Prevalence Countries, The Macmillan Prees Limited, 1992.
Mangunnegoro
Hardiarto, Suryatenggara Wibowo. Pedoman Praktis dan Penata Pelaksanaan
Tuberkulosis Paru. Jakarta :
IDI, 1993.
S hulman, Phair,
Sommers., Dasar Biologi dan Klinis, Penyakit Infeksi Edisi ke-4,
Jogjakarta: UGM Press, 1994 : 213-214.
Tim Redaksi, Cermin
Dunia Kedokteran “Tuberkulosis”, International
Standard Serial Number: 0125 – 913X, 1995.
No comments:
Post a Comment
Sebagai pembaca yang baik, koment yah. Makasih